Kamis, 19 September 2013

jasa service / maintenance dan perbaikan mesin kopi

Kami  Melayani Jasa Servis Atau Perbaikan Untuk Mesin Kopi berbagai Merk Seperti Seico,Gino,Vibm,dll, Kami Juga Menjual Peralatan Pendukung Untuk Mesin Kopi, Seperti Blender, Grinder, Mixer,Gratcho Whipper, Cream Whipper, Kopi Arabika, Robusta,Kopi Luwak,Powder, Syrup flavour, Dan Peralatan Pendukung Lainnya,

Mari Mengenal Jenis Kopi Kelas Dunia

Setelah mengenal sejarah tentang kopi di dunia dan negeri sendiri (Indonesia), masih ada yang kurang rupanya, dan jangan terlampau cepat mengaku sebagai penikmat kopi kalau kita belum mengenal jenis-jenis kopi dan penyajiannya, lalu seperti apa memilih kopi yang baik, aroma kopi yang segar, ataupun cara penyajiannya.
Jenis Kopi Kelas Dunia
1. Kopi arabika (arabica coffee)
Kopi yang berasal dari Brasil dan Etiopia ini menguasai 70 persen pasar kopi dunia. Kopi arabika memiliki banyak varietas, tergantung negara, iklim, dan tanah tempat kopi ditanam. Anda bisa menemukan kopi toraja, mandailing, kolumbia, brasilia, dan lain sebagainya. Antara kopi arabika yang satu dan yang lain punya perbedaan rasa.
Berikut ciri-ciri kopi arabika:
-         Aromanya wangi sedap mirip percampuran bunga dan buah. Hidup di daerah yang sejuk dan dingin.
-         Memiliki rasa asam yang tidak dimiliki oleh kopi jenis robusta.
-         Memiliki bodi atau rasa kental saat disesap di mulut.
-         Rasa kopi arabika lebih mild atau halus.
-         Kopi arabika juga terkenal pahit.
-         Harganya sekitar Rp 32.000 per kg.
Arabica sendiri masih terbagi lagi menjadi 2, yaitu commercial arabica dan specialty arabica. Commercial arabica adalah arabica ‘pasaran’ yang walaupun grade’nya lebih tinggi dari robusta, tapi tidak memiliki rasa specific yang unik. Sementara specialty arabica HANYA dihasilkan oleh Indonesia. Commercial arabica mendominasi dunia dengan 63%, yang terutama dihasilkan di Columbia dan Brazil. Sementara specialty arabica hanya mengisi 7%. Ada 7 macam kopi arabica, 6 di antaranya dihasilkan oleh Indonesia, dan hanya 1 dihasilkan oleh Jamaica yang sangat terkenal dengan nama Blue Mountain. Kopi Blue Mountain yang asli memang cukup mahal, mantap dan enak.
Adapun 6 jenis kopi arabica Indonesia adalah: Gayo di Aceh, Mandheling di Sumatera Utara, Java di Jawa (terutama Jawa Timur), Kintamani di Bali, Toraja di Sulawesi dan jenis baru Mangkuraja dari Bengkulu. Toraja sendiri sering juga disebut dengan Kalosi Toraja, Mandheling kadang ditulis dengan Mandailing. Ada juga orang yang menggolongkan Gayo dan Mandheling menjadi satu yaitu Sumatra Coffee, seperti penggolongan yang dilakukan oleh Starbucks.
Kita patut berbangga bahwa Indonesia merupakan penghasil the best Arabica coffee di dunia, walaupun bukan penghasil Arabica terbesar di dunia.
2. Kopi robusta
Menguasai 30 persen pasar dunia. Kopi ini tersebar di luar Kolumbia, seperti di Indonesia dan Filipina. Sama seperti arabika, kondisi tanah, iklim, dan proses pengemasan kopi ini akan berbeda untuk setiap negara dan menghasilkan rasa yang sedikit banyak juga berbeda.
Ciri-ciri kopi robusta:
-         Memiliki rasa yang lebih seperti cokelat.
-         Bau yang dihasilkan khas dan manis.
-         Warnanya bervariasi sesuai dengan cara pengolahan.
-         Memiliki tekstur yang lebih kasar dari arabika.
-         Harganya sekitar Rp 18.000 per kg.
Kalau kopi arabica hanya bisa tumbuh di ketinggian sekitar 800 – 1000 m dpal, sementara saudara dekatnya, robusta tumbuh di ketinggian di bawah itu. Jika arabica tumbuh lebih rendah dari 800 m dpal, dikuatirkan tanaman kopi ini tidak tahan terhadap penyakit kopi, sementara sesuai namanya jenis satu lagi memang lebih robust dari penyakit-penyakit kopi alias ndableg, sehingga dinamakan robusta. Arabica sendiri jelas merujuk tempat di mana asal-usul minuman ini berasal. Tanaman robusta di Indonesia kebanyakan merupakan peninggalan jaman penjajahan Belanda. Uniknya, kopi arabica yang tumbuh di satu daerah jika dicoba ditanam di daerah lain, akan berubah aroma, rasa dan keunikannya. Misalnya kopi Gayo dibawa ke Sulawesi, atau kopi Toraja dibawa ke Jawa, ditanam di tempat yang bukan habitat aslinya, hasil panennya tidak akan sama lagi dengan induknya. Apapun sistem penanaman itu, kopi arabica tadi akan berubah karakteristiknya sesuai dengan tempat penanaman. Robusta di Indonesia banyak ditanam di Sumatera bagian selatan, termasuk Lampung dan sekitarnya, dan juga di Jawa. Indonesia cukup banyak menghasilkan kopi ini dan salah satu pemasok penting dunia.
3. Kopi ekselsa, racemosa, dan liberica (african coffee)
Yang ini memang jarang sekali didengar, apalagi dilihat, merupakan jenis kopi yang berada di antara arabika dan robusta. Kopi tersebut saat ini masih dalam tahap pengembangan.
Konon kopi liberica merupakan “best of the best” dari segala kopi di dunia ini. Sayangnya kopi liberica ini sangat kecil volume yang beredar di dunia. Ajaibnya, kopi liberica ini tanamannya termasuk tanaman hutan dan banyak terdapat di pedalaman Kalimantan sana, dan sudah berabad lamanya menjadi minuman tradisional suku Dayak di sana. Pohon liberica ini bisa mencapai ketinggian 30 m, dan biji kopi liberica merupakan biji kopi dengan ukuran terbesar di dunia. Kalau kopi excelsa, sayangnya saya tidak punya cukup referensi untuk bercerita.
4. Kopi luwak
Merupakan kopi yang berasal dari biji kopi arabika atau robusta yang dimakan oleh luwak. Luwak akan menelan buah kopi (berwarna merah) dan memprosesnya dengan enzim yang ada di perutnya. Biji dari buah kopi itu lalu terbuang bersama kotorannya. Biji inilah yang dinamakan kopi luwak.
Kopi luwak dihargai sekitar Rp 350.000, bahkan lebih, tergantung jenis kopi yang dimakan luwak. Kopi luwak menjadi lebih istimewa karena luwak mencari buah kopi yang 90 persen matang. Ia tidak melihat warna, tetapi menggunakan daya penciuman yang tajam dan selalu mencari kopi pada malam hari. Dalam satu pohon kopi, hanya 1-2 butir buah yang dimakan. Dengan begitu, kopi yang diambil oleh luwak adalah kopi dengan nilai kematangan tertinggi, yang tentunya amat berpengaruh pada rasa kopi nantinya.
Walaupun masih banyak kalangan yang sinis dan berpendapat bahwa kopi luwak ini hanyalah mitos semata, tapi pada kenyataannya kopi luwak memang satu-satunya kopi paling exotic dan langka di dunia. Penghasil kopi luwak yang paling kuat hanyalah Indonesia dan Phillipines. Di Indonesia masih kalah dengan Phillipines yang sudah mulai menekuni dan mencoba menternakkan luwak ini, dan banyak sekali para spesialis yang memiliki ilmu khusus melacak keberadaan luwak di pegunungan-pegunungan.
Teknik Penyajian
Barangkali kita sering atau pernah mendengar espresso. Nah, itu teknik penyajian kopi khas Italia. Di Indonesia, tradisi minum kopi sudah cukup lama bahkan tua, yaitu kurang lebih 300 tahun. Tapi entah mengapa, di daerah urban atau kota besar, nyaris semua kafe menjagokan minuman espresso. Sementara kebanyakan orang Indonesia hanya mengenal 2 jenis penyajian kopi, yaitu kopi tubruk dan kopi instan.
Secara umum, teknik minum kopi yang paling purba adalah merebus dan menyiram air panas ke dalam gelas yang telah berisi bubuk biji kopi.
Yang pertama adalah memasukkan bubuk biji kopi beserta hal lain (seperti gula atau rempah2) atau juga bisa bubuk biji kopi saja ke dalam suatu wadah, sebut saja panci (kadang disebut cezve, kanaka, Ibrik, dll), lalu disiram dengan air, dan direbus di atas alat pemanas, bisa kompor, tungku kayu bakar, dll.
Yang kedua, mudah saja, tinggal memasukkan air ke dalam gelas yang sudah berisi bubuk biji kopi. Diamkan beberapa menit, atau silakan diaduk langsung, dan secara konvensional disepakati bahwa ampas dari penyeduhannya tidak dibuang atau dikeluarkan dari gelas. Nah, yang kedua ini disebut sebagai Kopi Tubruk. Kalo yang pertama disebut Turkis Coffee karena tradisi ini masih dirayakan di sana, dan alat2nya juga masih dikembangkan di sana.
Setiap teknik penyajian penyeduhan kopi memang memengaruhi rasa, selain ada faktor lain tentu saja. Salah satu kekhasan teknik tubruk adalah waktu ekstraksi kopi lebih lama, selama suhu air mampu mengekstraksikan bubuk biji kopi dan/atau waktu kita menghabiskan kopinya. Karena hal itulah mengapa kadar kafein dari kopi tubruk lebih tinggi daripada espresso.
Karena waktu ekstraksi tetap berjalan itulah kadang rasa dan aroma kopi bisa tidak stabil. Di kafe-kafe kota besar dan juga segelintir rumah tangga di kota besar, teknik penyajian sudah tidak hanya berpaku pada tubruk, melainkan macam-macam. Di desa, warung-warung kopinya (coffeeshop, cafe itu sama artinya dengan kedai kopi atau warung kopi, beda bahasa dan kultur saja) tentu saja kopi tubruk tetap menjadi pilihan utama. Di jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Kalimantan, dan kota lain, kopi tubruk tetap hidup di warung kopi yang tidak terlalu terpengaruh dengan citarasa atau citra Italia.
Buat sebagian orang, kopi tubruk sudah ketinggalan zaman. Tapi, jika kita melihat bahwa minum kopi tidak sekadar minum saja, melainkan membicarakan tradisi, tentu akan jadi lain lagi melihat fenomena kopi tubruk itu sendiri.
Meski begitu, proses icip-coba atau lebih dikenal bahasa Inggrisnya, cupping, menggunakan metode tubruk. Jadi, bisa disimpulkan, untuk lebih komprehensif dan holistik dalam mengenal karakter kopi, baik itu aroma, rasa, kepekatan, jejak rasa di lidah dan rongga mulut, keseimbangan karakter, dll, metode tubruk tetap dijadikan pilihan.
Menikmati kopi adalah hal pribadi. Dalam arti nikmat atau tidaknya kopi yang kita minum bergantung pada selera (lidah) kita. Tidak ada kebenaran tunggal bagaimana lidah kita menikmati karakter kopi. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kopi tubruk dianggap sebagai teknik penyajian kopi yang tidak begitu baik atau bagus, mengingat selera lidah dan juga kultur merupakan hal yang tidak seragam.
Atau kopi Americano bisa dijadikan contoh lain. Seperti yang sudah disinggung, di Italia ada espresso. Pada masa Perang Dunia II, para tentara Amerika yang tidak begitu cocok dengan espresso meminta kepada para barista atau penyaji kopi untuk menambahkan air panas di kopi espresso mereka. Akhirnya, muncullah istilah peyoratif Americano. Beda lidah, beda cara dalam menikmati sesuatu rasa minuman, dalam hal ini kopi.
Meskipun demikian, kopi Tubruk adalah identitas. Melalui kopi tubruk itu juga kita bisa melacak bagaimana orang-orang di Indonesia sejak kurang lebih 300 tahun lalu merayakan tradisi minum kopi. Kopi tubruk adalah monumen sejarah kopi di Indonesia.
Bagaimana dengan kopi instant?!
Sifat dari kopi yang sudah digiling adalah tidak larut dalam air, sehingga untuk kepraktisan dipikirkanlah suatu cara untuk menjaga kenikmatan kopi sekaligus praktis. Pada tahun 1901, seorang warga negara Amerika keturunan Jepang, Satori Kato menemukan metode freeze-dried kopi yang menjadi cikal bakal kopi instan. Berikutnya, di tahun 1906 seorang ahli kimia Inggris, George Constant Washington yang tinggal di Guatemala, menemukan metode untuk produksi besar-besaran kopi instan ini. Barulah di tahun 1938 kopi instan dikomersialkan dalam skala industri oleh Nescafe.
Kopi instan mayoritas terdiri dari robusta yang dicampur dengan arabica dengan komposisi yang berbeda tiap merek dan jenis yang ada di pasaran. Arabica menang di aroma, flavor dan taste, tapi meninggalkan rasa asam di ujung lidah sehabis menyeruput double-shot espresso. Sementara robusta memiliki keunggulan yang dinamakan “body” yang kuat dan sedap. Body di sini bisa juga disebut dengan ‘after-taste’ yaitu rasa yang ditinggalkan di lidah kita setelah tetes terakhir dicecap. Rasa, bau dan aroma kopi yang menyenangkan akan tinggal agak lama dan tidak ada jejak rasa asam. Masing-masing keunggulan itulah yang dicoba dikombinasikan dengan blending ke 2 jenis tersebut sesuai komposisi dan ‘ramuan’ tertentu sesuai dengan resep masing-masing merek.

Dari berbagai sumber